
Cerpen adalah bentuk tulisan prosa yang tidak melebihi 10.000 kata dan hanya memiliki satu konflik sentral. Di bawah ini, kami sajikan beberapa contoh cerpen yang bisa menjadi sumber inspirasi Anda. Ayo, kita lihat!
Ketika saya masih bersekolah, saya sangat menyukai pelajaran Bahasa Indonesia, terutama ketika kami diminta untuk menulis dan membaca cerpen. Saya merasa bahwa menulis cerpen sama dengan mengaplikasikan semua pengetahuan yang saya pelajari dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, seperti penggunaan tanda baca, berbagai macam imbuhan, dan berbagai jenis teks.
Bagi mereka yang juga menyukai membaca cerpen, mari kita lihat beberapa contoh cerpen singkat dengan berbagai tema yang seru dan menarik berikut ini.
Pengertian Cerpen
Jadi, apa itu cerpen sebenarnya? Cerpen adalah singkatan dari “cerita pendek.” Sesuai dengan namanya, cerpen adalah bentuk prosa fiksi yang singkat dan hanya memiliki satu konflik sentral. Secara sederhana, cerpen adalah cerita fiksi yang bisa dibaca sekaligus, dimulai dari pengenalan tokoh, konflik, hingga penyelesaiannya. Panjang cerpen tidak boleh melebihi 10.000 kata.
Jenis-Jenis Cerpen
Cerpen sendiri memiliki tiga jenis, yaitu:
1. Cerpen Pendek
Meskipun namanya sudah “pendek,” ada cerpen yang lebih pendek lagi. Cerpen pendek hanya terdiri dari 500 – 700 kata. Bahkan, kadang-kadang mereka juga disebut “ficlet.”
2. Cerpen Sedang
Cerpen sedang memiliki panjang antara 700 – 1000 kata.
3. Cerpen Panjang
Cerpen panjang terdiri dari lebih dari 1000 kata. Beberapa bahkan bisa mencapai 5000 – 10.000 kata.
Contoh Cerpen
Untuk memahami lebih lanjut, berikut adalah beberapa contoh cerita pendek yang dapat Anda gunakan sebagai panduan dalam pembelajaran. Mari kita simak!
1. Contoh Cerpen berjudul “Hutan Merah” karya Fauzia.
Matahari bersinar terik di Lampung. Cahayanya hanya mampu menembus rimbunnya pepohonan, menciptakan berkas tipis yang menari-nari di antara dedaunan. Burung-burung berkicau seakan-akan mereka sedang menyanyikan sebuah lagu untuk alam. Suara riak sungai yang jernih bergabung dengan melodi batu-batu sungai dan jawaban dari beberapa makhluk yang hidup di hutan itu. Di sinilah Bora, si anak gajah Lampung, tinggal, dan saat ini, ia sedang bermain riang bersama teman-temannya di tepi sungai.
Ketika Bora dengan ceria menyemprotkan air menggunakan belalainya ke arah Dodo, sesama anak gajah, Dodo bersorak dengan riang. Tapi tiba-tiba, kebahagiaan mereka terhenti oleh suara gemuruh yang mendatang dari arah utara hutan. Gemuruh itu dicampur dengan deru sesuatu yang sama sekali tak dikenali oleh Bora.
“Hei, lihat itu!” serentak mereka berhenti dan menatap langit yang ditunjuk oleh Dodo. Ada asap hitam tebal yang menjulang tinggi. Asap itu semakin mengental dan terus berkelebat. Fenomena aneh ini belum pernah mereka saksikan sebelumnya. Selama ini, mereka hanya mengenal langit biru cerah dengan awan-awan putih yang berarak di sana.
Hutan yang tadi begitu tenang tiba-tiba menjadi neraka bagi semua makhluk. Asap hitam yang pekat mulai menyelimuti seluruh hutan, dan suhu udara meningkat secara drastis, memaksa hewan-hewan tersebut berteriak dengan panik.
Bora merasa panik. Sambil mengikuti Pipin yang menariknya, matanya mencari-cari ibunya. “Pipin, di mana ibuku?” tanya Bora.
“Ibu… ibumu…” Pipin terdiam karena dia juga tidak tahu di mana ibu Bora berada.
“Aku harus kembali ke sarang!” Bora mencoba melepaskan diri dari belalainya yang sedang digandeng Pipin.
Namun, Pipin dengan cepat menarik belalai Bora kembali. “Ibumu pasti sudah ada di depan bersama gajah-gajah dewasa lainnya,” kata Pipin.
Bora tidak mengindahkan kata-kata Pipin dan melepaskan diri lagi, lalu berlari secepat mungkin menuju sarangnya.
“Bora!” Pipin berteriak sambil berusaha mengejar.
Bora tiba di dekat sarangnya dengan napas tersengal-sengal. Matanya membelalak ketika dia melihat ibunya sedang berjuang untuk keluar dari sarang yang terancam api. Api sudah menjalar di sekitar pohon-pohon di dekat sarang itu.
“Ibu!” Bora berteriak dengan keras.
“Apa yang kamu lakukan di sini?! Cepat pergi!” ibu Bora berteriak sambil mencoba mengusir Bora dengan belalainya, menekankan agar Bora menjauh dari tempat itu.
“Tidak! Aku tidak akan pergi!” Bora menentang keras. Mengapa ibunya masih mencoba mengusirnya saat nyata-nyata dia berada dalam bahaya?
“Cepatlah, Bora!”
“Bora! Ayo pergi!” Tiba-tiba, Pipin muncul dan menarik belalai Bora.
“Bukan! Saya tidak mau!” Bora menarik belalai Pipin dengan kasar. “Ibu, saya akan menyelamatkanmu!”
“Ibu! Tidak!” Pipin berteriak.
Kraaak! Braaak!
“Ibu!! Ibu!!” Bora terus berteriak memanggil ibunya. Kemudian, pohon yang terbakar itu tumbang dan menimpa tubuh ibu Bora.
“Ayo, Bora, kita harus pergi,” kata Pipin dengan lirih sambil menarik Bora.
Bora sekali lagi menoleh ke belakang saat mereka sudah cukup jauh dari sarang. Tidak ada lagi hutan hijau dengan pepohonan lebat. Hutan yang selalu ia kagumi telah berubah menjadi lautan api yang membara.
2. Contoh Cerpen Berjudul “Dilema Nara” karya Alya Khalisah
Nara terbangun karena sinar matahari yang masuk melalui jendela kamarnya yang, entah sejak kapan, terbuka. Sejenak, ia hanya memandang langit-langit kamar. Matanya masih terasa bengkak akibat tangis yang menghampirinya semalam.
Kemudian, Nara bangun dan duduk di sisi ranjang kecilnya. Gadis ini melihat sekeliling kamarnya, dan tiba-tiba, terdengar suara kaca yang pecah dari luar.
Nara menutup kedua telinganya dengan erat, enggan mendengar apapun. Air mata mengalir di pipinya. Wajahnya tersembunyi dalam telapak tangannya yang lemah. Baginya, hidup dalam situasi seperti ini sudah tak terlalu bisa ditahankan. Ia merasa tak mampu bertahan dalam pusaran kesedihan yang terus menghantuinya.
Nara perlahan-lahan keluar dari rumah, berjalan di antara jalanan yang sepi sambil menundukkan kepala, seakan-akan malu dunia melihatnya. Ia melihat bayangannya di antara pepohonan dan rumah-rumah. Namun, ia berhenti saat seseorang menghalanginya.
“Saya ingin bicara denganmu,” kata orang tersebut.
Nara mengangkat kepala, wajah orang itu terasa akrab.
“Mengapa?” tanya Nara dengan ekspresi datar, tetapi tak mendapat jawaban. “MENGAPA KAMU HARUS DILAHIRKAN KE DUNIA INI?” bentaknya tiba-tiba.
Orang itu meletakkan telapak tangannya di pipi Nara. “PERGI!”
Nara tak sanggup menatap lawannya. Ia hanya memegang pipinya yang masih terasa nyeri akibat tamparan tadi. “Hilanglah dari dunia ini, penghancur keluarga orang!” hardik gadis itu. Nara menangis, teriakan gadis itu terdengar di telinganya. Air mata mengalir di sudut wajahnya.
Nara adalah seorang anak perempuan yang hidup dalam keluarga yang bahagia, dikelilingi oleh cinta kasih orang tuanya. Awalnya, ia mengira hidupnya sempurna. Namun, ternyata itu semua hanyalah ilusi belaka. Ayahnya, ternyata, telah menikah lagi. Saat itulah Nara menyadari bahwa ibunya adalah istri kedua ayahnya.
Keluarganya tidak diinginkan oleh siapa pun. Ibunya dianggap sebagai wanita yang tak memiliki harga diri. Tidak ada yang mau berbagi nafas atau tempat dengan keluarga Nara. Mereka tidak peduli betapa besar kerusakan mental yang mereka berikan kepada orang yang mereka hina.
Istri pertama ayah Nara adalah sahabat dekat ibu Nara. Mereka telah berjanji untuk tidak mengkhianati satu sama lain sejak mereka bersekolah. Ketika istri pertama ayahnya mengetahui apa yang terjadi, ia pasti sangat terkejut. Suami yang ia cintai berpaling darinya. Sahabat yang ia percayai mengkhianatinya dalam waktu yang sama.
Nina, anak dari istri pertama ayahnya, bahkan tidak percaya saat ayahnya mengungkapkan hal tersebut. Teror mulai datang sebagai tanda balas dendam. Dari pecahnya kaca jendela di rumah hingga bahaya yang mengancam rumah mereka.
“Na?” Nara terbangun dari lamunannya. Gadis itu tetap diam, matanya kosong.
“Nara? Sayang, kamu di dalam, bukan?” Panggilan itu tidak membuat Nara bergerak dari tempatnya. Kemudian, suara ketukan demi ketukan datang dari balik pintu.
“Nara, tolong buka pintunya, Sayang. Ibu ingin berbicara tentang rencana pindah kita.”
Keluarganya berencana untuk pindah, untuk meninggalkan semua kenangan buruk dan memulai yang baru. Tapi bagi Nara, pindah hanyalah pelarian. Tubuhnya tidak akan lagi menerima penyiksaan. Namun, jiwa dan pikirannya telah terluka oleh rasa frustasi yang tidak berkesudahan. Ia tidak akan pernah hidup dalam damai seperti sebelumnya.
Nara tetap diam. Dalam pikirannya yang kacau, ia memikirkan Nina. Gadis itu ingin Nara hilang dari dunia ini. Ia ingin Nara lenyap. Nara tahu apa artinya itu.
Nara memandang luka-luka di tubuhnya yang berasal dari tangis dan penyesalan ayah dan ibunya. Ia tercengang, mengenang semua yang terjadi begitu cepat.
Pertama-tama, ia berencana untuk memutuskan urat nadinya dengan gunting hijau kesukaannya. Pertama-tama, ia tidak ingin melihat orang tuanya menangis sambil memeluknya. Pertama-tama, ia ingin merasakan rasa sakit yang lebih lama. Tapi saat ia menutup mata dan bersiap untuk menghadapi risiko perbuatannya, cahaya putih menyinari dirinya. Sesaat, ia berpikir itu hanya fantasi ketika ia sudah berhasil mati. Kemudian Nara tahu, kematiannya akan membawa kebahagiaan kepada semua orang.
Nara tersenyum. Ia tidak merasa sedih sedikit pun. Ia hanya merasakan kebebasan dan kedamaian dalam pikirannya. Sekarang, ia tidak perlu lagi menerima penderitaan mental dari orang-orang di sekitarnya. Ia bebas dan hidup dalam kedamaian yang selama ini ia impikan.
Nara menutup matanya, merasakan semua sensasi dan kenikmatan damai yang mengalir ke dalam tubuhnya. Cahaya kembali datang dan membawanya ke dimensi lain. Dimensi yang akan membawanya menuju keabadian.
3. Cerpen Panjang berjudul Badai yang Reda
Puluhan layang-layang yang menghias langit di atas kepala saya terlihat seperti barisan burung yang sedang bermigrasi. Angin pantai yang bertiup kencang mendorong mereka terbang lebih tinggi dan lebih jauh, tetapi tetap terkendali oleh tali kenur. Saya ingin seperti layang-layang itu, walaupun beberapa orang mengatakan bahwa hidup seperti layang-layang tidak sepenuhnya bebas. Meskipun terlihat bebas, ada tali tipis namun kuat yang mengendalikannya.
Namun, saya tetap bermimpi menjadi layang-layang yang terbang tinggi di langit yang cerah di Pangandaran ini.
Saya melihat sekeliling. Pertengahan bulan Juli adalah puncak musim liburan di mana-mana. Banyak wisatawan asing yang bermain di Pantai Selatan ini, entah itu dengan layang-layang atau hanya menikmati pemandangan cerah di Pantai Pangandaran ini. Saya sendiri duduk di depan kios Uwak Imas yang menjual pakaian. Aroma khas laut yang bercampur dengan bau pabrik ikan asin yang tidak jauh dari sini telah menjadi udara harian yang saya hirup. Meskipun sinar matahari terik menyentuh kulit saya, saya tetap duduk di luar kios. Sebab Uwak Imas sedang sibuk melayani turis asing yang ingin membeli dagangannya. Saya tidak ingin masuk, karena pasti Uwak Imas akan meminta saya untuk melayani turis-turis tersebut, meskipun dia tahu bahwa saya hanya bisa menjawab “ya” dan “tidak”.
Ketika saya berpaling dari layang-layang, saya melihat Bapak bersama tiga orang lainnya bersiap-siap untuk berlayar. Saya ingat bahwa Bapak telah berlayar semalam dan baru kembali tadi subuh. Mengapa mereka bersiap-siap berlayar lagi sekarang? Apakah tiba-tiba kapal Haji Miun mendeteksi gerombolan ikan tuna di laut tengah? Tidak, itu adalah pemikiran bodoh! Satu-satunya peralatan canggih yang mereka gunakan adalah naluri nelayan yang telah berkembang selama puluhan tahun.
Kaki saya membawa saya mendekati mereka. Angin bertiup sangat kencang di telinga saya. Tumbuh di pesisir pantai membuat saya memiliki ketakutan yang berbeda dari orang lain. Ketika orang lain takut melihat keluarganya terombang-ambing oleh ombak, saya merasakan ketakutan yang berbeda. Saya takut membenci laut. Saya takut bahwa laut, yang selama ini saya anggap sebagai teman, akan menjadi musuh saya dan merenggut segala yang saya cintai.
Bagi saya, laut adalah rumah, dan rumah saya adalah laut.
Saat saya tiba di dekat bibir pantai, Bapak melambai pada saya sambil tersenyum. Kulitnya sudah terpanggang matahari, rambutnya telah memudar, bukan karena uban tetapi karena sering terkena air laut. Bapak masih terlihat segar, meskipun wajahnya telah dipenuhi keriput. Matanya yang berwarna hitam pekat bersinar saat melihat saya, seperti air laut yang memantulkan sinar matahari. Saya selalu suka melihat Bapak tersenyum seperti itu, tetapi entah kenapa kakiku gemetar saat melihatnya sekarang.
“Bapak mau berlayar lagi?” saya bertanya.
Bapak meletakkan jaring yang telah ia rapikan ke dalam perahu. “Iya, Nak. Pak Sudir mengajak saya mancing, katanya cuaca bagus.”
“Saya ingin ikut juga,” kata saya.
Sejenak saya ragu dengan ajakan Pak Sudir. Bukan, bukan karena takut pada laut, tetapi ada perasaan aneh yang muncul di hati saya. Sejak beberapa saat yang lalu, perasaan ini telah saya rasakan berulang kali, terutama ketika melihat Bapak berlayar di tengah malam. Tetapi saya tetap merasa asing dengan perasaan takut ini. Seperti berada di dalam perahu di tengah badai, di tengah laut.
“Ahh, sudahlah, kamu jaga kios Uwak saja,” kata Bapak.
Saya tidak bisa menjawab kata-kata terakhir Bapak sebelum Beliau naik ke perahu bersama tiga pria lainnya. Rasanya … sama seperti ketika saya melihat Ibu meninggalkan rumah pada hari itu. Saya telah berusia dua belas tahun saat itu, cukup besar untuk memahami situasi seperti itu. Dan sejak saat itu, saya tidak pernah menangis lagi untuk Ibu, karena air mata ini tidak cukup untuk membawanya kembali.
Tetapi apakah saya harus menangis hari
ini? Untuk membuat perahu yang ditumpangi Bapak berbalik lagi?
Saya merasa itu konyol! Saya harus ingat, saya sekarang berusia tujuh belas tahun.
Saya tidak akan meninggalkan bibir pantai dan tetap duduk di sana, memandangi perahu yang telah hilang dari pandangan. Terkadang ombak menerpa kakiku. Saya tidak peduli dengan sinar matahari menyengat di Pantai Selatan dan keramaian turis di seberang sana, saya tetap duduk di atas bebatuan. Sesekali mata saya menangkap keluarga yang bermain air atau hanya duduk-duduk di pantai. Mungkin saya akan seperti mereka jika tidak dibesarkan di laut, menganggap laut sebagai tempat yang menyenangkan. Tetapi saya tidak bisa tertawa seperti mereka, walaupun saya menganggap laut adalah rumah dan teman saya. Laut menyimpan banyak ketakutan dan kekhawatiran.
Saya menutup mata saya, berdoa sambil merasakan angin menerpa tubuh saya dan ombak yang terus membasahi kakiku. Saya berdoa … kali ini juga, jaga Bapak.
Hari semakin sore, dan matahari tidak lagi seterik sebelumnya. Meskipun kekhawatiran masih ada, saya beranjak dari bebatuan dan kembali ke kios Uwak Imas. Saat saya tiba di sana, Uwak Imas langsung menyambut saya dengan semprotan mulutnya yang cerewet. Saya hanya tersenyum, tidak ingin melawan sekaligus menutupi kekhawatiran saya. Saya hanya akan merasa lega jika melihat Bapak kembali.
Karena tidak ada turis asing yang datang ke kios Uwak, hanya turis domestik, saya mulai membantu di kios. Saya hampir melempar uang koin lima ratusan ke wajah pembeli yang baru saja membayar ketika suara Uwak Imas tiba-tiba memekik keras di depan kios. Saya dan pembeli itu melihat ke arah luar dan kemudian mendekati Uwak Imas. Ternyata Uwak Imas tidak sendirian, Bi Iyah dan Mang Satya, penjual pakaian lainnya dan tetangga saya, juga ada di sana.
“Suara apa itu? Seumur hidup saya tidak pernah mendengar suara ombak seperti itu,” kata Uwak Imas.
Ucapan Uwak Imas direspons oleh dua orang lainnya dengan heboh. Saya mengabaikan mereka dan tetap memandangi pantai dari tempat saya. Tadi siang, suara radio di kios Uwak Imas sangat keras, jadi saya tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Uwak Imas. Benarkah suara ombak begitu keras?
Mata saya menyipit. Kios ini tidak jauh dari keramaian pantai, jadi selalu ada pembeli yang datang. Tetapi keramaian di sana tidak berbeda dari beberapa saat yang lalu ketika saya duduk di atas bebatuan. Teriakan kebahagiaan terdengar keras di sana. Namun beberapa detik kemudian, teriakan itu berubah menjadi jeritan ketakutan.
“Allahu Akbar! Ombak! Ombak!”
Jeritan itu bergema dan berulang. Gemuruh yang mungkin hanya terdengar oleh Uwak Imas, sekarang bisa saya dengar juga. Orang-orang berlari menjauh dari bibir pantai sejauh yang mereka bisa. Tetapi saya tidak bisa bergerak, meskipun situasinya sangat kacau di sekitar saya. Suara saya terhenti di tenggorokan, dan mata saya hanya bisa bergerak ke atas, mengikuti gerakan ombak di atas kepala saya. Telinga saya terdiam. Seluruh tubuh saya mengikuti arah aliran ombak, terdampar. Nafas saya sakit, dan rasa sakit itu menyebar ke seluruh tubuh saya.
“Bapak…”
Dengan sisa-sisa kekuatan saya, saya berkata pada diri sendiri.
Dalam kegelapan yang merayap di pandangan saya.
Suara pedih itu menyelubungi saya. Seperti asap pekat yang memenuhi paru-paru, itu tidak mudah untuk dibersihkan meskipun saya terus meniupnya, itu menyerang paru-paru saya, memadamkan napas saya, menggigit saya dalam-dalam. Suara orang-orang berteriak, berteriak satu sama lain. Seolah waktu mengejar mereka tanpa henti, mereka terus bergerak.
Dalam kekacauan itu, saya melihat sosok yang saya cintai berdiri di sana dengan mata yang memerah. Saya tahu dia menangis, tetapi saya tidak bisa mendengar suaranya. Kaos lusuh yang dia dapat dari kampanye partai politik beberapa tahun lalu basah kuyup, begitu juga dengan celana hitamnya. Dia meremas-remas topi yang dia kenakan tadi.
Langit malam di belakangnya, seperti latar belakang yang menggambarkan kesedihannya. Dan saya hanya bisa berdiri di tempat ini, tidak bisa mengucapkan kata-kata atau bahkan menggerakkan kaki untuk mendekatinya. Kakiku gemetar, perlahan menekuk, berjongkok di depan sosok yang tergeletak kaku. Kemudian seluruh tubuhnya gemetar, tanpa kecuali. Dia terus menunduk, tidak mengucapkan kata apa pun, dan lama-kelamaan saya merasakan hujan yang membasahi tubuh saya dengan deras, seperti air mata yang tidak pernah berhenti dari dia. Tangannya mencari-cari sesuatu dengan isakan pilu yang memenuhi paru-paru saya.
Seseorang datang setelahnya, mencoba menghentikan dia yang tampaknya ingin berbaring di samping sosok yang tergeletak itu. Sebanyak apapun dia berteriak, semuanya tidak akan kembali. Dan bodohnya, saya hanya bisa berdiri di sini.
Saya tidak bisa melakukan apa-apa.
Hanya membiarkan mereka menutup kantong kuning yang membungkus tubuh saya, meninggalkan tangis pedih sang Bapak di antara kerumunan yang
berlarian di sana. Kegelapan itu berubah menjadi cahaya yang terang.
Saya berjalan menuju cahaya yang menyilaukan, sekali lagi berharap. Laut, saya mohon, kali ini—tidak, maksud saya selamanya—jaga Bapak.
4. Cerpen dengan judul “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis
Haji Saleh sangat terkejut melihat teman-temannya yang berada di neraka, menderita dalam panas yang terik, merintih kesakitan. Ia mulai bingung dengan keadaannya, karena semua orang yang ada di neraka ini tidak kalah taat beribadahnya darinya. Bahkan, ada yang sudah pergi ke Mekah hingga empat belas kali dan bergelar Syeh. Haji Saleh mendekati mereka dan bertanya mengapa mereka semua ada di neraka. Namun, seperti Haji Saleh, mereka juga tidak mengerti.
“Bagaimana bisa Tuhan kita melakukan ini?” kata Haji Saleh. “Kita selalu taat beribadah dan teguh beriman. Semua yang diperintahkan kita lakukan sepanjang hidup kita. Tapi sekarang kita malah masuk neraka.”
“Kami juga merasa tidak adil,” kata orang-orang di sekitarnya.
“Jika begitu, kita harus meminta Tuhan memberikan kesaksian atas kesalahan kita. Kita harus mengingatkan Tuhan bahwa mungkin ada kesalahan dalam hukuman-Nya.”
“Benar sekali. Kita harus meluruskan ini,” seru yang lain, yang ternyata adalah pemimpin gerakan revolusi di dunia.
“Setuju! Setuju! Setuju!” serukan mereka.
Mereka pun berangkat bersama-sama untuk menghadap Tuhan dan meminta kesaksian atas kesalahan mereka. Ketika Tuhan bertanya apa yang mereka inginkan, Haji Saleh menjadi juru bicara mereka.
“Tuhan Maha Besar kami, kami adalah umat paling taat beribadah, yang selalu menyebut nama-Mu, memuji kebesaran-Mu, dan memperjuangkan keadilan-Mu. Kitab suci kami hafal dengan baik dan kami selalu membacanya dengan benar. Tetapi, Tuhan Maha Kuasa, setelah kami dipanggil ke hadirat-Mu, kami malah dimasukkan ke neraka. Oleh karena itu, kami yang mencintai-Mu memohon agar hukuman kami diperiksa ulang dan kami dimasukkan ke surga, sesuai dengan janji-Mu dalam kitab suci.”
“Di mana kalian tinggal di dunia?” tanya Tuhan.
“Kami tinggal di Indonesia, Tuhan.”
“Negara yang tanahnya subur itu?”
“Ya, Tuhan.”
“Negara yang kaya akan logam, minyak, dan sumber daya alam lainnya?”
“Benar, Tuhan. Indonesia adalah negeri kami.”
“Negara yang pernah dijajah oleh bangsa lain?”
“Ya, Tuhan. Penjajah telah menyebabkan kami menderita.”
“Hasil alam negaramu dieksploitasi oleh bangsa lain, bukan?”
“Benar, Tuhan. Mereka mengambil hasil alam kami.”
“Di negara yang selalu kacau dan sering terjadi pertikaian antar penduduknya?”
“Ya, Tuhan. Kami memang sering mengalami konflik.”
“Kamu bahkan membiarkan dirimu menderita, bukan?”
“Ya, Tuhan. Kami bersedia menderita demi iman kami.”
“Karena kerelaanmu menderita, anak-anakmu juga menderita, bukan?”
“Ya, Tuhan. Kami menerima penderitaan ini, bahkan keturunan kami menderita.”
“Namun, kamu tidak mempedulikan kehidupan kaummu dan anak-anak istrimu. Kamu terlalu egois. Kamu takut masuk neraka, jadi kamu taat beribadah. Tetapi kamu melupakan kehidupan sehari-hari mereka, dan harta bendamu diambil oleh orang lain. Kamu lebih suka berkelahi antara sesamamu, saling menipu dan saling memeras. Aku memberikan kamu negeri yang kaya raya, tapi kamu malas. Kamu lebih suka beribadah karena itu lebih mudah. Aku telah menyuruh kamu beramal selain beribadah, tetapi kamu tidak mau bekerja dan tetap miskin. Kamu berpikir aku senang menerima pujianmu dan disembah. Kamu salah besar! Kamu semua harus masuk neraka! Malaikat, bawalah mereka kembali ke neraka. Letakkan mereka di dalam neraka.”
Mereka semua terdiam dan tidak berani berbicara lagi. Mereka sadar akan kesalahan-kesalahan mereka di dunia.
Namun, Haji Saleh ingin memastikan apakah perbuatannya di dunia ini benar atau salah. Ia tidak berani bertanya kepada Tuhan, jadi ia bertanya pada malaikat yang menggiring mereka.
“Apakah salah jika kami menyembah Tuhan di dunia?” tanya Haji Saleh.
“Menyembah Tuhan bukanlah kesalahanmu. Kesalahanmu adalah karena terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kamu tak peduli dengan kehidupan kaummu, keluargamu, dan anak-anak istrimu. Kamu egois. Meskipun kamu beribadah, kamu melupakan kehidupan sehari-hari mereka. Itulah kesalahan terbesarmu,” jawab malaikat.
Demikianlah kisah yang didengar Ajo Sidi dari Kakek. Kisah yang membuat Kakek merenung.
Keesokan harinya, ketika aku hendak turun ke rumah pagi-pagi, istriku memberi t
5. Cerpen berjudul “Pejuang” karya Maria Maghdalena Bhoernomo
Seorang lelaki tua selalu mengenakan lencana merah putih yang melekat di bajunya. Di mana pun dia pergi, lencana merah putih selalu menjadi bagian dari penampilannya.
Ia adalah seorang pejuang yang pernah berjuang bersama pahlawan-pahlawan pada masa penjajahan sebelum negara ini merdeka. Kini, semua rekan sejuangannya telah meninggal dunia. Ia merasa bersyukur karena diberi umur panjang sehingga bisa menyaksikan rakyat hidup dalam kedamaian.
Tidak lagi ada penjajahan dari bangsa asing. Tidak lagi perlu berjuang gerilya di dalam hutan. Namun, ia juga merasa bersedih ketika membaca berita di koran yang mengungkapkan bahwa negara ini semakin miskin akibat korupsi yang merajalela di kalangan pejabat negara.
Kekayaan negara pun terkuras oleh perusahaan-perusahaan asing yang berkolaborasi dengan elit politik. Saat ini, para elit politik hidup dalam kemewahan, serupa dengan pengkhianat-pengkhianat bangsa pada masa sebelum negara ini merdeka. Pada masa itu, pengkhianat-pengkhianat bangsa menjadi mata-mata Kompeni, siap mengkhianati bangsanya sendiri demi keuntungan pribadi.
Mereka rela mengorbankan sesama anak bangsa demi keuntungan mereka. Mereka mendapatkan berbagai fasilitas mewah seperti rumah, mobil, dan wanita cantik. Lelaki tua itu tiba-tiba teringat saat-saat ketika ia ditugaskan untuk menghilangkan pengkhianat-pengkhianat bangsa pada masa penjajahan.
Jenderal Sudirman pernah memerintahkannya untuk membersihkan negara ini dari pengkhianat-pengkhianat bangsa yang tidak segan-segan mengorbankan siapa saja demi keuntungan pribadi. “Mereka adalah musuh yang lebih berbahaya daripada Kompeni. Mereka tidak pantas hidup di tanah airnya sendiri. Kita harus menyingkirkan mereka dengan tuntas. Mereka tidak mungkin menjadi mitra perjuangan karena mereka telah mengkhianati bangsa mereka dengan jelas,” kata Jenderal Sudirman dengan berbisik di telinganya ketika mereka bergerilya di tengah hutan.
Lelaki tua itu kemudian bergerilya di berbagai kota untuk menghapuskan pengkhianat-pengkhianat bangsa tersebut. Ia berjuang sendirian melawan mereka. Dengan menyamar sebagai penjual tape singkong dan penjual air tape singkong yang bisa dijadikan pengganti arak atau tuak, ia mendatangi rumah-rumah pengkhianat bangsa. Banyak di antara pengkhianat-pengkhianat tersebut gemar membeli air tape singkong.
Mereka adalah kaum yang hanya tergiur oleh nafsu belaka. Lelaki tua itu sangat marah kepada pengkhianat-pengkhianat bangsa tersebut. Mereka harus dihilangkan dengan cara apa pun. Dan ia memilih cara yang sederhana namun efektif untuk menghilangkan mereka. Air tape singkong yang ia jual telah dicampur dengan racun yang ia peroleh dari seorang sahabatnya yang berkebangsaan Tionghoa yang sangat mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Racun tersebut amatlah mematikan, namun bahan-bahannya tidak diketahui oleh banyak orang. Jika racun tersebut dicampur dengan air tape singkong dan diminum, dalam waktu dua jam setelah meminumnya, peminumnya akan tertidur untuk selamanya. Tidak ada yang tahu bahwa pengkhianat-pengkhianat bangsa tersebut tewas satu per satu setelah mengonsumsi air tape singkong yang telah dicampur dengan racun.
Dokter-dokter yang mencoba menyelamatkan mereka mengira kematian mereka disebabkan oleh serangan jantung. Dukun-duku yang mencoba mengobati mereka menduga mereka tewas akibat kutukan. Para pemuka agama yang mencoba memberikan pertolongan menduga mereka meninggal karena dosa-dosa yang mereka lakukan.
6. Cerita Pendek berjudul “Persahabatan Sejati”
Sekarang, saya berada di kelas 3 SMP, dan setiap hari saya habiskan bersama ketiga sahabat saya: Aris, Andri, dan Ana. Kami sudah bersahabat sejak kecil.
Suatu hari, kami membuat surat perjanjian persahabatan yang kami letakkan dalam sebuah botol yang kemudian kami kubur di bawah pohon. Kami berencana untuk membuka botol itu saat menerima hasil ujian kelulusan.
Hari yang dinantikan akhirnya tiba, dan kami semua lulus ujian.
Kami dengan cepat berlari menuju tempat di bawah pohon di mana kami telah mengubur botol itu dulu.
Kami membuka botol itu bersama-sama dan membaca pesan yang kami tulis dahulu. Pesannya berbunyi, “Kami berjanji akan selalu bersama untuk selamanya.”
Keesokan harinya, Aris merencanakan sebuah perayaan untuk merayakan kelulusan kami berempat.
Malam itu, kami pergi ke suatu tempat bersama-sama, dan itulah saat-saat yang tak akan pernah saya lupakan karena Aris memiliki rencana untuk mengungkapkan perasaannya padaku. Akhirnya, Ana dan saya menjadi sepasang kekasih.
Hal yang sama terjadi pada Andri, yang juga menjadi pacar Ana. Malam itu adalah malam yang sangat istimewa bagi kami berempat. Kami pun bergegas pulang.
Namun, ketika kami dalam perjalanan pulang, saya merasa ada yang tidak beres.
“Ada sesuatu yang tidak enak, ya?” kata saya dengan kecemasan.
“Santai saja, Ndi, kita baik-baik saja,” jawab Andri dengan tenang.
Tapi tidak lama setelah itu, ketakutan saya menjadi kenyataan.
“Aris, hati-hati! Ada truk di depan!” teriak saya.
“Aaaaaaaa!”
Bruuukkk. Mobil yang kami kendarai terjatuh ke jurang. Saya tak bisa menahan air mata yang terus mengalir, dan akhirnya saya kehilangan kesadaran.
Perlahan-lahan, saya membuka mata saya perlahan, dan ibu saya ada di samping saya.
“Nindi, kamu sudah sadar, Nak?” tanya ibu.
“Saya ada di mana, Ibu? Di mana Ana, Andri, dan Aris?” tanya saya.
“Kamu di rumah sakit, Nak. Berusaha tegar ya, Andri dan Aris tidak selamat di lokasi kecelakaan itu,” jawab ibu sambil meneteskan air mata.
Saya terdiam mendengar kata-kata ibu, dan air mata saya terus mengalir. Saya merasa kehilangan Aris dengan sangat mendalam.
“Aris, mengapa kamu meninggalkan saya? Saya sangat mencintaimu, tapi kamu pergi begitu cepat, semuanya telah pergi dan meninggalkan saya,” pikir saya dalam hati.
Kemudian, dua hari berlalu, dan saya pergi mengunjungi makam mereka. Saya berharap kami bisa menghabiskan waktu bersama sampai kami tua. Namun, sekarang semua itu hanya tinggal kenangan. Saya berjanji akan selalu mengenang kalian.
7. Cerpen berjudul “Ketika Laut Marah” karya Widya Suwarna
Telah empat hari berlalu sejak nelayan-nelayan tidak dapat melaut. Pada malam hari, hujan deras turun, gemuruh ombak dan angin kencang di malam yang kelam, seolah-olah alam memberi isyarat murka, laut marah. Bahkan, bintang-bintang pun bersembunyi, tak berani menyinari dunia.
Nelayan-nelayan miskin yang bergantung pada laut setiap harinya merasakan kekhawatiran yang mendalam. Para ibu nelayan terpaksa menjual perhiasan emas mereka, sekeping atau dua gram saja, untuk membeli makanan harian. Mereka yang tak memiliki barang berharga harus meminjam dari orang lain.
Namun, selama masa-masa sulit ini, di rumah Pak Yus, terdapat perayaan yang tak biasa. Tidak ada yang merayakan pernikahan, ulang tahun, dan Pak Yus bukanlah orang kaya. Pak Yus hanyalah nelayan biasa, sama seperti tetangganya yang lain.
Pada hari-hari yang sulit itu, Pak Yus memerintahkan istrinya untuk memasak nasi dan berbagai lauk-pauk dalam jumlah besar. Lalu, ia mengundang anak-anak tetangga yang kurang beruntung untuk makan di rumahnya. Dengan demikian, tangisan anak-anak yang kelaparan tergantikan oleh perut kenyang dan senyuman di wajah mereka.
Dan sekarang, hari kelima telah tiba. Pagi itu, Ibu Yus memberikan laporan, “Pak, uang kita tinggal 20.000. Jika kita melanjutkan memberi makan anak-anak tetangga seperti kemarin, besok kita tak akan memiliki uang lagi. Belum tentu kita bisa melaut nanti sore!”
Pak Yus terdiam sejenak. Sosoknya yang kuat dan berkulit hitam melangkah ke luar rumah, memandang ke arah laut dan langit. Di kejauhan, awan gelap menjanjikan cuaca buruk nanti petang.
Kemudian, ia kembali ke dalam rumah dan mengatakan dengan tegas, “Ibu, pergilah ke pasar dan berbelanja. Seperti kemarin, ajak anak-anak tetangga makan. Jangan khawatirkan besok.”
Ibu Yus mengambil keranjang belanjaan dan patuh pada perintah suaminya. Selama ini, Pak Yus selalu mampu mengatasi segala kesulitan. Sementara itu, Pak Yus pergi ke kamarnya dan berdoa. Ia memohon agar Tuhan memberikan cuaca yang baik nanti petang dan malam. Dengan begitu, para nelayan dapat melaut dan besok akan ada cukup makanan untuk seluruh desa.
Pada siang harinya, anak-anak tetangga kembali makan di rumah Pak Yus. Mereka sangat bahagia. Setelah makan selesai, mereka menyapa Pak dan Bu Yus, dan mengucapkan terima kasih.
“Pak Yus, apakah kami boleh makan di sini lagi besok?” tanya seorang gadis kecil yang memegang adiknya. Matanya yang besar dan hitam memancarkan harapan.
Ibu Yus tersenyum dengan sedih. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Namun, dengan penuh keyakinan, Pak Yus, dengan suara yang dalam dan berwibawa, berkata, “Tidak, Titi. Besok kalian akan makan di rumah masing-masing, dan semua anak ini akan makan dengan baik di rumah mereka sendiri.”
Titi dan adiknya tersenyum gembira. Mereka percaya pada kata-kata Pak Yus. Pak Yus adalah nelayan berpengalaman, mungkin ia tahu bahwa cuaca akan cerah malam ini, dan para nelayan akan membawa pulang ikan yang melimpah.
Sekitar pukul empat petang, Pak Yus kembali melihat ke arah pantai. Laut tenang, angin sepoi-sepoi, dan pohon kelapa yang hanya berbisik lembut. Awan gelap yang menjanjikan cuaca buruk tadi telah hilang entah ke mana. Pak Yus pergi tanpa pamit.
Malam itu, Pak Yus dan para nelayan lainnya pergi melaut. Perahu-perahu mereka berlayar dengan tenang. Mereka berhasil menangkap banyak ikan. Ketika matahari terbit, mereka kembali ke pantai, disambut oleh keluarga mereka dengan suka cita.
Pak Yus teringat pada anak-anak tetangga. Tuhan telah menjawab doanya. Semua nelayan itu mendapat rezeki. Hari itu tidak ada pesta di rumah Pak Yus. Semua anak-anak makan di rumah masing-masing. Di atas perahunya, Pak Yus sekali lagi bersyukur dengan doanya.
8. Cerpen berjudul “Koin Hitam” karya Agus Noor
Aku memandangi dengan cermat koin perak yang telah berubah warna menjadi hitam pekat. Koin itu terletak di atas meja. Sudah lama sekali aku tidak ingin menyentuh koin itu. Namun, setiap kali aku datang ke rumahmu untuk mengembalikannya, yang aku temui hanyalah istrimu. Ia tersenyum manis sambil mengajakku masuk, namun matanya penuh dengan kegelisahan, takut ada yang melihat.
Setelah kau meninggal, aku berusaha keras untuk membuang koin itu. Saya telah mencobanya berkali-kali. Membuangnya ke dalam selokan, melemparkannya ke tempat sampah, bahkan membawanya jauh ke luar kota. Namun, dengan cara yang ajaib, koin itu selalu kembali. Seperti ajaib, tiba-tiba saja koin itu kembali terletak di atas meja.
9. Cerpen Tentang Katty, Si Kucing Lucu
Aku memiliki kucing yang sangat lucu dan menggemaskan bernama Katty. Katty memiliki bulu putih yang terhiasi dengan corak abu-abu yang cantik di seluruh tubuhnya. Matanya berbentuk bulat, dan telinganya selalu berdiri tegak. Kucingku ini benar-benar pencinta makanan dan sebagian besar waktunya dihabiskan dengan tidur.
Katty adalah sahabat setia bagiku. Setiap kali aku pulang ke rumah, dia selalu ada di sana untuk menemani. Dia senang bermain dan suka berlari-larian di sekitarku. Katty juga sangat suka mendapatkan perhatian, dia senang dielus-elus dan dipeluk. Kucing ini sangat ramah dan tidak pernah menunjukkan perilaku agresif seperti menggigit atau mencakar.
Aku sangat mencintai Katty dan selalu merawatnya dengan baik. Aku memastikan dia selalu memiliki makanan dan minuman yang cukup. Rutin membersihkan kandangnya adalah hal yang aku lakukan setiap hari. Dan ketika Katty sakit, aku selalu membawanya ke dokter hewan untuk mendapatkan perawatan yang baik.
Katty adalah kucing yang benar-benar lucu dan menggemaskan. Aku merasa sangat beruntung memiliki dia sebagai teman setia. Semoga dia selalu sehat dan panjang umur.
10. Cerita Pendek Bertema Pendidikan: Pembelajaran Kesederhanaan
Kisah ini dimulai dengan seorang anak bernama Gema, seorang murid kelas 6 SD yang cerdas dan penuh dengan kebaikan hati. Di sekolah, dia dikenal oleh banyak temannya karena sikapnya yang ramah dan murah hati. Banyak yang ingin berteman dengannya.
Gema selalu menjadi tempat bertanya dan berbagi bagi teman-temannya. Kemampuannya yang cerdas tidak membuatnya sombong, sebaliknya, dia selalu bersedia membantu teman-temannya yang kesulitan. Sikap seperti inilah yang membuatnya dicintai oleh banyak orang.
Di sisi lain, ada seorang gadis bernama Nurul, yang merupakan kontras dari Gema. Meskipun juga cerdas, Nurul memiliki sikap yang sombong dan sering merasa lebih unggul dari yang lain. Dia hanya memiliki dua teman, yaitu Mawar dan Melati, dua gadis kembar di sekolah mereka.
Suatu hari, Ibu Guru mengumumkan bahwa akan ada perlombaan membaca pidato dalam dua minggu ke depan. Bu Yati, wali kelas kelas 6, memberikan kesempatan kepada seluruh murid untuk mengikuti seleksi. Gema dan Nurul tentu saja tertarik untuk mengikuti perlombaan tersebut.
Mereka berdua berlatih keras setiap hari untuk mempersiapkan pidato mereka. Hari seleksi tiba, dan keduanya memberikan penampilan yang luar biasa. Kedua pidato itu begitu mengesankan sehingga mereka berdua dinyatakan lolos seleksi.
Ketika mendekati hari perlombaan, Nurul terus saja sombong dan percaya diri. Dia sering berbicara tentang bagaimana dia akan menjadi juara karena dia pernah memenangkan lomba pidato saat masih duduk di kelas 5 SD.
Sementara itu, Gema tetap rendah hati. Dia terus berdoa dan berlatih keras, berusaha menghafal pidato dengan baik. Saat hari perlombaan tiba, Nurul mendapatkan giliran pertama untuk tampil. Meskipun dia adalah juara kelas 5 SD, Nurul tiba-tiba lupa pidato yang telah dihafalnya.
Ketika giliran Gema untuk tampil, dia memberikan penampilan yang sangat luar biasa. Semua juri, termasuk Bu Yati yang datang untuk mendukung mereka, terkesan dengan pidato Gema.
Akhirnya, pengumuman pemenang perlombaan dibacakan, dan Gema keluar sebagai juara pertama, sementara Nurul harus menahan kekecewaannya karena tidak meraih kemenangan sama sekali. Cerita ini mengajarkan kita bahwa kesederhanaan dan kerendahan hati dapat membawa kesuksesan, bahkan dalam persaingan yang ketat sekalipun.
11. Cerita Pendek Bertema Persahabatan: Keindahan Berbagi dengan Sahabat
Pagi itu, hujan turun dengan deras, dan Ani merasa bingung tentang bagaimana cara pergi ke sekolah. Saat dia sedang memandangi hujan dari jendela, HP-nya tiba-tiba berdering dari kamar. Ani segera masuk ke kamar dan menjawab panggilan itu.
Ternyata, panggilan tersebut datang dari Lia, sahabat karibnya. Dalam telepon, Lia mengatakan bahwa dia akan menjemput Ani karena tahu bahwa Ani mungkin kesulitan pergi ke sekolah dalam cuaca seperti ini.
Tidak lama kemudian, Lia sudah berada di depan rumah Ani bersama ayahnya, dalam mobil. Ani dengan cepat berpamitan pada orangtuanya dan bergabung dengan Lia di mobil.
Setibanya di sekolah, Ani dan Lia, yang juga merupakan teman sebangku, berjalan bersama menuju kelas mereka. Ketika saat istirahat tiba, mereka berdua pergi ke kantin untuk makan siang dan menghilangkan rasa lapar. Namun, ketika tiba saatnya untuk membayar, Lia baru menyadari bahwa dia lupa membawa dompetnya. Tanpa ragu, Ani, sahabat baiknya, dengan senang hati membayar untuk makanan Lia.
12. Cerita Pendek dengan Judul “Ramalan Misterius”
Saat itu, kami berdua belum genap berusia tiga belas tahun ketika kami memutuskan untuk mengunjungi pasar malam. Keramaian dan lampu-lampu berwarna seolah-olah membawa kami ke dalam dunia yang sangat aneh. Meskipun aku sangat ingin mencicipi gulali yang menggiurkan, kamu membujukku untuk pergi ke tukang ramal yang memiliki mata juling. Kau sangat penasaran tentang nasib kami di masa depan.
Tukang ramal tersebut tersenyum dengan cara yang sangat misterius saat melihat kami berdua. “Kalian adalah sahabat yang sangat istimewa,” ujarnya dengan suaranya yang meramal, “karena menyukai seorang perempuan yang sama.” Kami masih saling menatap satu sama lain ketika tukang ramal tersebut tiba-tiba menarik tanganku. “Dan kamu,” katanya seraya menunjukku, “kamu akan mengalami kematian akibat tabrak lari.”
13. Cerita Pendek tentang “Kancil yang Licik”
Dahulu kala, di pinggir hutan yang lebat, hiduplah seekor Kancil yang sangat cerdik. Kancil ini tinggal bersama dengan berbagai jenis hewan lainnya, seperti kerbau, gajah, kelinci, dan berbagai hewan lainnya. Si Kancil selalu berusaha mencari makanan di sekitar pinggiran sungai.
Suatu hari, si Kancil merasa sangat lapar. Ia memutuskan untuk mencari makanan di hutan. Ketika sampai di tepi sungai, ia melihat sebuah pohon rambutan yang penuh dengan buah-buah yang menggoda di seberang sungai. Kancil pun berkeinginan untuk memakan buah rambutan itu, namun ada satu masalah besar: sungai tersebut dipenuhi oleh buaya-buaya yang lapar dan siap menyerangnya.
Para buaya itu mendekatinya dengan tatapan tajam, dan salah satu dari buaya tersebut berkata, “Eh, Kancil! Apakah kau merasa bosan dengan hidupmu, hingga datang ke sini?”
Kancil dengan santai menjawab, “Oh, tidak sama sekali. Aku datang kemari untuk memberikan undangan kepada kalian.”
Para buaya terkejut dengan pernyataan Kancil dan bertanya, “Undangan apa yang kau maksud?”
Kancil menjawab dengan tenang, “Nanti minggu depan, Raja Sulaiman akan mengadakan pesta besar, dan kalian semua diundang untuk hadir dalam acara tersebut.”
Para buaya menjadi penasaran. Salah satu buaya dengan nada meragukan berkata, “Pesta? Kamu pasti sedang berbohong! Kau tidak bisa menipu kami lagi kali ini!”
Kancil tersenyum dan dengan tegas berkata, “Tidak, aku sungguh-sungguh. Ini kali pertama aku berbicara jujur.”
Para buaya masih meragukan kata-kata Kancil. Mereka bertanya lagi, “Apakah kamu benar-benar yakin?”
Kancil menjawab dengan mantap, “Ya, aku sangat yakin.”
Para buaya kemudian diajak oleh Kancil untuk berbaris dengan rapi, berharap mereka akan mendapatkan bagian yang adil dalam pesta nanti. Kancil mulai menghitung para buaya satu per satu, dan saat ia mencapai buaya yang terakhir, ia dengan cepat melompat ke tepian sungai.
Namun, sebuah tupai yang berada di dekat sana berkata dengan tawa, “Pesta itu sebenarnya sudah berlangsung minggu lalu, bukan minggu depan! Hahaha!” Mendengar ini, para buaya merasa tertipu dan sangat marah. Sementara itu, Kancil hanya tersenyum dan menjulurkan lidahnya kepada mereka. Kancil pun pergi dengan cepat menuju pohon rambutan yang sangat diinginkannya. Akhirnya, ia berhasil menikmati buah rambutan yang lezat itu.
14. Cerpen berjudul “Kemenyan” karya Agus Noor
Mungkin, kamu memang tak pernah meninggal.
Para pengawal sering kali menyaksikanmu muncul di malam hari. Mereka kadang-kadang juga melihatmu duduk di beranda rumahmu, sesekali batuk ringan atau menghembuskan asap rokok kretek. Namun, pengawal-pengawal itu mencium bau harum kemenyan yang melayang di udara yang seketika saja terasa menjadi lebih lembap.
Para pengawal juga kerap kali melihat istrimu berdiri di depan pintu di tengah malam, menunggu kepulanganmu.
15. Cerpen tentang Liburan bersama Saudara
Saya merasa sangat gembira ketika saya mengetahui bahwa saya akan berlibur ke Bandung bersama saudara-saudara saya. Sudah lama kami tidak bertemu karena kami tinggal di kota yang berbeda. Saya berangkat bersama orang tua naik kereta api. Meskipun perjalanan cukup panjang, saya tidak merasa bosan karena saya bisa menikmati pemandangan indah sepanjang perjalanan.
Ketika kami tiba di Bandung, kami disambut dengan hangat oleh kerabat kami di sana. Mereka telah menyiapkan kamar untuk kami. Kami segera mulai berbagi cerita tentang apa yang telah terjadi dalam hidup masing-masing. Saya sangat menikmati mendengarkan cerita-cerita menarik dari mereka. Keesokan harinya, kami memutuskan untuk menjelajahi Bandung bersama-sama. Kami mengunjungi museum, taman rekreasi, kebun binatang, dan pusat perbelanjaan.
Selama liburan, kami juga mencoba berbagai masakan khas Bandung yang lezat dan enak. Kami mengabadikan momen-momen bahagia kami dengan mengambil banyak foto. Menghabiskan waktu liburan sekolah bersama saudara-saudara saya adalah pengalaman yang takkan pernah saya lupakan. Saya merasa lebih dekat dengan mereka dan saya belajar banyak dari pengalaman ini. Saya berharap dapat berlibur bersama mereka lagi di masa depan.